Konflik antara TNI dengan aparat
kepolisian yang berujung pada pembakaran Mapolres OKU, Sumsel, menandakan
hubungan dua institusi keamanan ini jauh dari kebersamaan. Bentrokan yang
terjadi di OKU pada awal bulan Maret adalah bukan yang pertama. Indonesian
Police Watch (IPW) mencatat sejak 2007 setidaknya terjadi 17 kali bentrok
antara anggota TNI dan aparat kepolisian. Rinciannya 2007 terjadi 3
peristiwa, 2008 terjadi 2 peristiwa, 2009 terjadi 4 peristiwa, 2010 terjadi 6
peristiwa, 2011 terjadi 1 peristiwa, April 2012 terjadi 1 peristiwa.
Sementara Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung mengatakan bahwa konflik antara
TNI-Polri meningkat 300 persen. Diduga jumlah itu hanya fenomena gunung es.
Baru sedikit yang terungkap.
Meski Panglima TNI dan Kapolri
selaku pimpinan tertinggi kedua institusi ini berkali-kali menyerukan hubungan
baik dan berusaha meredam gejolak bawahan mereka, akan tetapi hubungan keduanya
seperti bara dalam sekam. Diam tapi menyimpan potensi gejolak. Rentetan
ini menunjukkan konflik antara dua lembaga keamanan negara itu bukan lagi
bersifat kasuistik dan personal, akan tetapi sistemik.
Semenjak pemisahan institusi kepolisian
dari ABRI pada 1 April 1999, sudah terendus aroma persaingan antara polri dan
TNI. Ada kecemburuan di kalangan TNI bahwa kepolisian seperti mendapatkan
wewenang lebih besar dalam bidang keamanan dan pertahanan dibandingkan ‘saudara
tuanya’, TNI.
Akibatnya muncul esprit de corps,
semangat membela korps masing-masing atau semangat ashabiyyah di antara
mereka. Konflik di OKU misalnya diawali dengan bentrokan fisik terlebih dahulu
antar personil TNI dan kepolisian. Beberapa kali konflik antar TNI-Polri
disebabkan perkara yang sepele dan tidak patut. Akan tetapi tingginya sentimen
antara institusi membuat persoalan itu dapat merembet menjadi konflik dalam
skala besar.
Persoalan tambahan yang kerap
membuat hubungan antara dua lembaga ini senantiasa tegang adalah alokasi
anggaran yang tidak seimbang. Pemerintah memberikan anggaran yang jauh
lebih besar untuk kepolisian ketimbang kepada TNI. Untuk tahun ini saja
pemerintah telah mengucurkan anggaran sebesar Rp 45,6 triliun untuk Polri.
Termasuk pemerintah lebih memanjakan Densus 88 yang notabene di bawah Polri,
sekalipun dalam operasinya mereka kerap melakukan extra judicial killing.
Sementara, pertahanan yang di
dalamnya ada TNI Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kementrian Pertahanan harus
terseok-seok dengan anggaran Rp 77 triliun. Itulah yang menyebabkan alutsista
yang dimiliki TNI sudah usang. Beberapa kali pesawat latih TNI AU jatuh dan
menimbulkan korban di kalangan prajurit TNI. Sepanjang 12 tahun terakhir ada
sekitar 30 pesawat milik TNI AU yang jatuh, sebagian besar karena usianya sudah
uzur.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa
manajemen institusi keamanan negeri ini terus memburuk. Selain diwarnai
ketegangan hubungan antara TNI-Polri, tindakan indisipliner prajurit dan
personil kepolisian termasuk melakukan berbagai tindak kriminal. Kasus korupsi
simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi kepolisian adalah bukti kongkrit
buruknya mental sebagian aparat keamanan. Kasus-kasus kriminalitas yang
dilakukan personil TNI dan Polri seperti peredaran dan pemakaian narkoba dan
kekerasan acapkali diberitakan di media massa.
Sepanjang tahun 2012, jumlah
personil kepolisian maupun TNI yang melakukan tindak kriminal masih tinggi .
Tercatat sebanyak 275 prajurit TNI melakukan pelanggaran kode etik karena
melakukan perzinaan. Kemudian jumlah prajurit yang melakukan desersi mencapai
1.123 kasus. Pada tahun yang sama, kasus penganiayaan yang melibatkan prajurit
TNI mencapai 355 kasus. Terlibat narkoba sebanyak 161 kasus, serta
penyalahgunaan senjata api sebanyak 49 kasus. Pihak TNI juga mencatat sebanyak
3.634 prajurit terlibat pelanggaran hukum dan sedang diproses. Dari jumlah
tersebut, TNI telah menyelesaikan perkara sebanyak 3.298 perkara.
Sementara itu Kepolisian Republik
Indonesia pada tahun 2012 telah memberhentikan 595 anggota Polri secara tidak
hormat. Pada tahun yang sama 217 anggota kepolisian terlibat narkoba.
Ironisnya, meski banyak dipecat akan tetapi jumlah aparat yang melakukan
pelanggaran justru meningkat. Jumlah personil kepolisian yang dipecat bertambah
dibandingkan tahun 2011 yang berjumlah 328 personil.
Di balik konflik yang sering terjadi
antara TNI-Polri, yang justru harus dipertanyakan adalah dimana peran
pemerintah, khususnya presiden selaku kepala negara bahkan panglima tertinggi?
Padahal dia adalah pemegang kekuasaan tertinggi seluruh jajaran aparat keamanan
termasuk TNI dan Polri? Rentetan konflik TNI-Polri adalah gambaran kegagalan
peran penguasa menata aparat keamanan di bawahnya. Pemerintahan SBY lebih
banyak disibukkan dengan program pencitraan dirinya dan parpolnya, tunduk pada
dominasi asing khususnya AS dan menjalankan agenda mereka, ketimbang menata
kehidupan rakyatnya, termasuk membenahi persoalan di tubuh TNI dan Polri.
Publik mungkin belum lupa bagaimana
Presiden SBY amat lamban menangani bahkan terkesan membiarkan konflik antara
KPK versus Polri berjalan berlarut-larut. Dalam rangkaian konflik TNI-Polri pun
presiden tidak segera turun tangan, meskipun konflik seperti ini sudah amat
sering terjadi. Ironi, sebagai pemangku jabatan komando tertinggi
presiden justru membiarkan pertahanan dan keamanan negara dalam keadaan lemah,
aparatnya saling bertikai dan kondisi mental mereka terus memburuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar