google-site-verification: googlef5bfa2421d00dca0.html AULIA ADVERTISING: TNI-Polri Bertikai dan Bermasalah Akibat Presiden Mengabaikannya

Rabu, 13 Maret 2013

TNI-Polri Bertikai dan Bermasalah Akibat Presiden Mengabaikannya


Konflik antara TNI dengan aparat kepolisian yang berujung pada pembakaran Mapolres OKU, Sumsel, menandakan hubungan dua institusi keamanan ini jauh dari kebersamaan. Bentrokan yang terjadi di OKU pada awal bulan Maret adalah bukan yang pertama. Indonesian Police Watch (IPW) mencatat sejak 2007 setidaknya terjadi 17 kali bentrok antara anggota TNI dan aparat kepolisian. Rinciannya 2007  terjadi 3 peristiwa, 2008 terjadi 2 peristiwa, 2009 terjadi 4 peristiwa, 2010 terjadi 6 peristiwa, 2011 terjadi 1 pe­ristiwa, April 2012 terjadi 1 pe­ristiwa. Sementara Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung mengatakan bahwa konflik antara TNI-Polri meningkat 300 persen. Diduga jumlah itu hanya fenomena gunung es. Baru sedikit yang terungkap.
Meski Panglima TNI dan Kapolri selaku pimpinan tertinggi kedua institusi ini berkali-kali menyerukan hubungan baik dan berusaha meredam gejolak bawahan mereka, akan tetapi hubungan keduanya seperti bara dalam sekam. Diam tapi menyimpan potensi gejolak.  Rentetan ini menunjukkan konflik antara dua lembaga keamanan negara itu bukan lagi bersifat kasuistik dan personal, akan tetapi sistemik.
Semenjak pemisahan institusi kepolisian dari ABRI pada 1 April 1999, sudah terendus aroma persaingan antara polri dan TNI. Ada kecemburuan di kalangan TNI bahwa kepolisian seperti mendapatkan wewenang lebih besar dalam bidang keamanan dan pertahanan dibandingkan ‘saudara tuanya’, TNI.
Akibatnya muncul esprit de corps, semangat membela korps masing-masing atau semangat ashabiyyah di antara mereka. Konflik di OKU misalnya diawali dengan bentrokan fisik terlebih dahulu antar personil TNI dan kepolisian.  Beberapa kali konflik antar TNI-Polri disebabkan perkara yang sepele dan tidak patut. Akan tetapi tingginya sentimen antara institusi membuat persoalan itu dapat merembet menjadi konflik dalam skala besar.
Persoalan tambahan yang kerap membuat hubungan antara dua lembaga ini senantiasa tegang adalah alokasi anggaran yang tidak seimbang.  Pemerintah memberikan anggaran yang jauh lebih besar untuk kepolisian ketimbang kepada TNI. Untuk tahun ini saja pemerintah telah mengucurkan anggaran sebesar Rp 45,6 triliun untuk Polri. Termasuk pemerintah lebih memanjakan Densus 88 yang notabene di bawah Polri, sekalipun dalam operasinya mereka kerap melakukan extra judicial killing.
Sementara, pertahanan yang di dalamnya ada TNI Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kementrian Pertahanan harus terseok-seok dengan anggaran Rp 77 triliun. Itulah yang menyebabkan alutsista yang dimiliki TNI sudah usang. Beberapa kali pesawat latih TNI AU jatuh dan menimbulkan korban di kalangan prajurit TNI. Sepanjang 12 tahun terakhir ada sekitar 30 pesawat milik TNI AU yang jatuh, sebagian besar karena usianya sudah uzur.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa manajemen institusi keamanan negeri ini terus memburuk. Selain diwarnai ketegangan hubungan antara TNI-Polri, tindakan indisipliner prajurit dan personil kepolisian termasuk melakukan berbagai tindak kriminal. Kasus korupsi simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi kepolisian adalah bukti kongkrit buruknya mental sebagian aparat keamanan. Kasus-kasus kriminalitas yang dilakukan personil TNI dan Polri seperti peredaran dan pemakaian narkoba dan kekerasan acapkali diberitakan di media massa.
Sepanjang tahun 2012,  jumlah personil kepolisian maupun TNI yang melakukan tindak kriminal masih tinggi . Tercatat sebanyak 275 prajurit TNI melakukan pelanggaran kode etik karena melakukan perzinaan. Kemudian jumlah prajurit yang melakukan desersi mencapai 1.123 kasus. Pada tahun yang sama, kasus penganiayaan yang melibatkan prajurit TNI mencapai 355 kasus. Terlibat narkoba sebanyak 161 kasus, serta penyalahgunaan senjata api sebanyak 49 kasus. Pihak TNI juga mencatat sebanyak 3.634 prajurit terlibat pelanggaran hukum dan sedang diproses. Dari jumlah tersebut, TNI telah menyelesaikan perkara sebanyak 3.298 perkara.
Sementara itu Kepolisian Republik Indonesia pada tahun 2012 telah memberhentikan 595 anggota Polri secara tidak hormat. Pada tahun yang sama 217 anggota kepolisian terlibat narkoba. Ironisnya, meski banyak dipecat akan tetapi jumlah aparat yang melakukan pelanggaran justru meningkat. Jumlah personil kepolisian yang dipecat bertambah dibandingkan tahun 2011 yang berjumlah 328 personil.
Di balik konflik yang sering terjadi antara TNI-Polri, yang justru harus dipertanyakan adalah dimana peran pemerintah, khususnya presiden selaku kepala negara bahkan panglima tertinggi? Padahal dia adalah pemegang kekuasaan tertinggi seluruh jajaran aparat keamanan termasuk TNI dan Polri? Rentetan konflik TNI-Polri adalah gambaran kegagalan peran penguasa menata aparat keamanan di bawahnya. Pemerintahan SBY lebih banyak disibukkan dengan program pencitraan dirinya dan parpolnya, tunduk pada dominasi asing khususnya AS dan menjalankan agenda mereka, ketimbang menata kehidupan rakyatnya, termasuk membenahi persoalan di tubuh TNI dan Polri.
Publik mungkin belum lupa bagaimana Presiden SBY amat lamban menangani bahkan terkesan membiarkan konflik antara KPK versus Polri berjalan berlarut-larut. Dalam rangkaian konflik TNI-Polri pun presiden tidak segera turun tangan, meskipun konflik seperti ini sudah amat sering terjadi.  Ironi, sebagai pemangku jabatan komando tertinggi presiden justru membiarkan pertahanan dan keamanan negara dalam keadaan lemah, aparatnya saling bertikai dan kondisi mental mereka terus memburuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar